Pertembakauan: Haruskah Diistimewakan?

Oleh: Akbar Maulana

Dikutip dari detik.id, 22 Maret 2017, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan ke DPR. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan surat presiden itu berisi penolakan pembahasan RUU tersebut.

“Itu surat untuk membicarakan bagaimana pemerintah tidak setuju. Bukan pemerintah setuju. Karena sudah diajukan DPR, pemerintah sebaiknya kan menanggapinya,” kata JK di sela-sela kunjungan di Bangkok, Thailand, Rabu (22/3/2017).

Penolakan ini sesuai dengan hasil sidang kabinet yang telah diputuskan sebelumnya. JK mengatakan pengiriman surat presiden ke DPR adalah hal yang wajar untuk menghormati pihak legislatif.

“Ujungnya adalah pemerintah tidak sependapat dengan RUU. Jadi tidak perlu ada undang-undang, itu prinsip. Prinsip bagaimana caranya agar saling menghargai perlu ada,” tegas JK.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya mengatakan pemerintah tidak melanjutkan pembahasan RUU Pertembakauan. Alasannya, peraturan yang ada sudah cukup untuk mengatur.

Pada hari selanjutnya, 25 Maret 2017, dikutip dari kumparan.com, Menurut Wakil ketua DPR Taufik Kurniawan, surpres tersebut belum diterima oleh DPR secara resmi. Namun bila isi surpres berupa penolakan, DPR akan melakukan pembahasan kembali.

“Kalau pemerintah menyatakan ada keberatan, DPR akan koordinasi ulang untuk melakukan pembahasan ulang,” kata Taufik di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/3).

“Ini kan sudah di paripurna, tentunya tidak di dalam tataran lobi. Surpres tersebut kan merupakan sikap pemerintah, kita sama-sama menghormatilah,” lanjut dia.

Taufik menegaskan saat ini pembahasan soal RUU Pertembakauan masih akan ditahan dulu. Selanjutnya, hal itu akan dikomunikasikan kembali oleh panja.

Berdasarkan pada kedua sumber berita diatas, RUU Pertembakauan memang telah mengalami penolakan oleh pemerintah, namun pembahasan RUU tersebut masih memiliki kemungkinan untuk dilanjutkan. Hal mendasar yang seharusnya dipertanyakan adalah memang seberapa bermanfaatkah tembakau bagi negara ini? Hingga pada saat ini, timbul inisiatif DPR untuk menciptakan undang-undang mengenai pertembakauan dengan tujuan membela kepentingan buruh dan petani tembakau di Indonesia.

Berdasarkan penelitian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI) tahun 2008, petani tembakau mengeluarkan biaya produksi tanam tembakau sebesar Rp8.386/meter persegi dalam sekali masa tanam dengan hasil hanya sebesar Rp12.4481. Selain petani, rata-rata upah nominal buruh industri hasil tembakau juga memprihatinkan. Dibandingkan upah minimum regional sebesar Rp 802.000 pada tahun 2008, para buruh linting di Kabupaten Malang hanya mengantongi upah sebesar Rp540.000/bulan dengan jatah melinting sebanyak 2.500 batang/hari.

Namun, pada nyatanya RUU Pertembakauan lebih berpihak kepada para industri rokok. Hal ini dibuktikan melalui substansi RUU yang memang melemahkan regulasi yang telah ada serta bertujuan untuk meningkatkan produksi rokok pada tahun-tahun mendatang. Produksi dan konsumsi rokok yang tidak dikendalikan akan menyebabkan rokok mudah didapatkan dan dikonsumsi oleh semua kalangan, tidak terkecuali oleh anak-anak dan remaja. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan, perokok pemula usia 10—14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari 8,9% pada tahun 1995 menjadi 18% pada tahun 2013. Hal ini akan berpengaruh terhadap komitmen Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) yang berlaku mulai 2016—2030.

Salah satu alasan lain sebagai dasar pengajuan RUU Pertembakauan adalah besarnya pendapatan negara yang didapatkan melalui cukai atas produk tembakau terutama rokok. Pada beberapa media telah disebutkan bahwasannya cukai rokok menghasilkan 300 triliun rupiah bagi negara dalam satu tahun.

Namun, dapat direfleksikan kembali apakah nilai tersebut sepadan bagi negara kita yang memiliki kesempatan mencapai bonus demografi dengan sumber daya manusia-manusia terbaiknya. Tentu telah kita pahami bersama bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang telah terbukti secara kesehatan dapat menurunkan produktivitas kerja manusia. Ketergantungan akan produk tersebut dapat memperburuk keadaan yang telah ada. Investasi negeri melalui anak anak muda berprestasi dan intelektual akan terancam akibat pengaruh zat adiktif dari produk tembakau tersebut. Pada intinya apabila pemerintah memutuskan untuk mengambil 300 triliun pada saat ini bahkan menambahkannya di kemudian hari, maka negara ini akan kehilangan investasi untuk masa depannya.

Kita semua tentu berharap agar para wakil rakyat dan pemerintah disana dapat berpikir jernih dalam mengeluarkan keputusan. Keputusan-keputusan yang tentunya dapat mewakilkan kesejahteraan seluruh rakyat dan bukan merupakan kepentingan golongan. Disini penulis berharap agar pemerintah dan DPR dapat benar-benar menghentikan pembahasan RUU Pertembakauan. Jika masih ingin untuk dilanjutkan maka penulis rasa diperlukan peninjauan ulang kembali terhadap substansi pasal-pasal di dalam RUU Pertembakauan. Hal ini dikarenakan terdapat ketidaksesuaian dengan tujuan awal pengajuan serta rasanya pertembakaun di Indonesia tidak perlu untuk diistimewakan.

Akbar Maulana, penerima Beasiswa Pemuda Nusantara, mahasiswa FKM UI 2016, Staf Dept. Kajian &
Aksi Strategis BEM FKM UI 2017

Bagikan artikel ini melalui:
Mulai percakapan
1
Ada yang bisa kami bantu?
Assalamu'alaikum,
Ada yang bisa kami bantu?